







Gede-Pangrango, First Time Hiking!
Hay, coretan kali ini saya akan membahas soal pendakian pertama saya. Entah kenapa aktivitas ini sudah menjadi hobi saya semenjak semester 7 kuliah. Awalnya hanya berbekal keingintahuan dan ajakan teman untuk mengisi waktu yang banyak lowong saat akhir perkuliahan. Namun ternyata memberi banyak warna dan berperan besar dalam kehidupan saya hingga saat ini. Kalo kata pendaki senior mendaki itu candu untuk orang-orang yang mencari kebebasan. That’s absolutely right!
Berikut ulasannya:
Gunung ini terletak di daerah Jawa Barat yaitu di kawasan (TNGGP). Taman nasional ini adalah taman nasional tertua dan layaknya taman nasional di seluruh penjuru Indonesia, didirikan untuk melindungi dan konservasi di Jawa Barat. Dua gunung kembar ini termasuk gunung paling popular didaki bagi para pemula. Untuk mencapai dua gunung tersebut bisa ditempuh melalui 3 jalur pendakian. Yaitu Jalur Cibodas, Jalur Gunung Putri dan Jalur Selabintana (Sukabumi). Berikut rinciannya:
1. Jalur Cibodas
adalah jalur paling mainstream yang dipilih oleh para pendaki. Karena treknya jauh lebih mudah (dilengkapi tangga batu) dan banyak tempat istirahat serta pesona alam yang cocok buat foto-foto dan bermain air (telaga biru, air terjun cibereum dan sumber air panas).
2. Jalur Gunung Putri
adalah jalur kedua yang biasanya dipilih pendaki yang ingin cepat sampai tujuan karena jalurnya yang pendek walaupun treknya terus menanjak. Selain itu jalur ini dipilih pendaki yang ingin mendapatkan pesona alun-alun surya kencana (kebun edelweiss) sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak.
3. Jalur Selabinana
adalah jalur paling menantang karena jalur ini masih sangat alami dan jarang dilewati pendaki. Menurut teman yang sudah melewatinya jika salah melewati jalur. Pendaki akan disuguhi dengan perkampungan pacet (baca: setiap semak-semak yang dilewati penuh dengan pacet) dan sudah dipastikan pendaki akan diserang oleh pacet-pacet yang kelaparan. Haha sedikit ekstrim, tapi begitulah kurang lebih gambaran jalur pendakian ini.
Kebetulan pendakian pertama saya kali ini diputuskan melalui jalur Gunung Putri, lalu turun di Cibodas. Dengan tujuan puncak Gede terlebih dahulu, lalu menginap di kandang badak dan keesokan harinya menuju puncak pangrango.
Kita berangkat pukul 00.00 wib (setelah semua urusan perijinan selesai) karena ingin mengejar sunrise di surya kencana. Sewaktu itu kami ber empat belas dengan modal seadanya dan persiapan yang menurut saya cukup matang (agak lupa detailnya) tapi yang jelas ketika lihat capture OOTDnya saya pakai baju berlapis-lapis dan bekal cemilan penambah energi (gula merah, cokelat, permen) yang cukup banyak.
Karena saya adalah orang yang cukup concern dengan value. Maka banyak pertanyaan berkelebat tentang makna dan tujuan apa yang ingin didapat saat pendakian. (agak sedikit lebay memang. Tapi itulah saya). Jika ditanya alasan maka sebagian besar alasannya adalah untuk sekedar otak atau menikmati waktu luang bersama teman. Namun ada beberapa alasan para pendaki atau petualang yang membuat hati saya sedikit merasakan kenikmatan dan tujuan yang sama akhir-akhir ini yaitu alasan pencarian jati diri. Hemm, yah sebuah pencarian tentang diri yang tak henti-hentinya dilakukan. Agar kita lebih bijak memaknai hidup. Lebih mengerti dan menghayati betapa Sang Pencipta memberi kita banyak kenikmatan baik yang terlihat maupun yang kasat mata. Sedikit terinspirasi juga oleh kata-kata Sok Hok Gie. Bahwa:
“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah"
Dan entah kenapa setiap kali saya merencanakan pendakian, lalu mendaki dan kemudian turun. Hormon endorphin dan adrenalin saya mencapai level maksimum. Seperti semacam kekuatan yang membuat energi saya semakin tinggi untuk menghadapi lika-liku kehidupan.
Anyway kembali ke cerita pendakian. Setelah kira-kira berjalan 6 jam dengan selingan beberapa kali istirahat di pos-pos yang kita lewati (pos Legok Lenca (2150 Mdpl), pos Buntut Lutung (2300 Mdpl), pos Lawang Seketel (2500 Mdpl) dan pos Simpang Maleber (2625 Mdpl)), akhirnya kami sampai di Alun-Alun Surya Kencana. Saat itu saya merasa berada di tempat semacam surga. Karena sebelumnya, definisi saya tentang alun-alun. Ya seperti taman yang kebanyakan ada di pusat kota, hanya penuh dengan rumput hijau dengan berbagai rombong makanan kecil serta beberapa fasilitas tempat bermain ataupun olahraga.
Alun-alun kali ini jauh berbeda. Sejauh mata memandang isinya hanya bunga edelweiss. Bunga yang orang-orang banyak bilang sebagai atau bunga keabadian. Hanya karena punya waktu merekah yang cukup lama. Bunganya tidak harum namun bisa menjadi pemandangan paling menarik dan membanggakan bagi para pendaki. Karena bunga ini hanya ditemukan di ketinggian 2000 mdpl.
Setelah beristirahat kurang lebih sekitar 3- 4 jam. Untuk sekedar mengisi perut dan foto-foto kami melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Gede. Setelah perjalanan dengan trek menanjak dan bonus jalan datar beberapa tempat akhirnya kami sampai di puncak 2958 mdpl. Alhamdulillah, rasanya semua lelah terbayar sudah. Perasaan seperti semua masalah dan beban hidup terlupakan begitu saja. Bebas, lepas dan bahagia.
Puncak ini adalah puncak pertama yang mengantarkan saya pada deretan puncak selanjutnya. Disini juga saya mengikrarkan kepada diri sendiri bahwa mendaki gunung adalah tempatpaling tepat untuk saya belajar menyelesaikan masalah yang ada.
Walaupun susah tapi bisa, walaupun lelah tapi sanggup, walaupun enggan tapi harus.
Beberapa saat setelah terhanyut melihat pemandangan yang begitu menyenangkan kami melanjutkan perjalanan ke kandang badak, tempat sejuta umat pendaki mendirikan perkemahan. Saat itu cuaca mulai mendung dan saat perjalanan menuju kandang badak, kami kehujanan. Disini fisik kami benar-benar diuji. Tidak hanya rasa lelah, kami harus merasakan udara dingin dan tetesan air hujan yang menyergap seluruh bagian tubuh. Setelah berjalan kurang lebih 2 jam kami sampai di kandang badak. Keadaan sudah mulai malam. Kami belum mendirikan tenda, dan cuaca saat itu tidak mendukung. Saat itu, dalam ingatan saya, hanya 4 dari 14 orang yang sampai duluan di kandang badak, termasuk saya. Salah seorang teman kami saat pendakian, dia terkena gejala hipotermia. Pakaian yang dipakai basah kuyup dari atas hingga bawah. Sehingga badannya menggigil dan mengalami kesulitan bernafas. Disini saya kembali merasa bahwa Allah memang Maha Penyayang hambanya. Pertolongan datang di waktu yang tepat. Salah seorang pendaki yang sudah terlebih dahulu di kandang badak menawarkan teh dan beberapa gelas wedang jahe. Bener-bener. Nikmat!
Alhamdulillah teman kami sedikit terobati. Beberapa jam kemudian tim kami sudah lengkap dan mendirikan camp untuk tempat istirahat. Malam itu saya merasa malam dengan tidur ternyenyak sepanjang hidup. Untuk lelah yang membahagiakan.
Keesokan harinya ternyata hanya beberapa yang menyanggupi summit ke Puncak Pangrango. Sedangkan sisanya memutuskan untuk menunggu di kandang badak. Karena medannya yang menantang, beberapa pendaki senior memberi nasihat untuk tidak membawa keril dan beban berat saat naik atas.
Dan ternyata benar saja, baru beberapa langkah kami melakukan perjalanan sudah disambut dengan jalanan yang curam dan sedikit terblokade karena banyaknya pohon tumbang yang menutup jalur pendakian. Tapi Alhamdulillah singkat cerita kami sampai di puncak pangrango. Tapi entah kenapa saya tidak terlalu tertarik dengan puncak ini, sangat berbeda dengan puncak gede. Disini saya mendapat pelajaran, bahwa tidak semua puncak yang kita daki itu berakhir dengan kebahagiaan. Kadangkalanya puncak itu tidak seindah perjalanan yang dilewati. Untuk itu kita harus menghargai tidak hanya hasil tapi proses. Karena ketika kita dengan bijak menghargai keduanya, kita tidak akan pernah merasa menyesal.
Tapi ada bonus yang mengimbangi puncak pangrango ini, yaitu Taman Mandalawangi. Taman Edelweiss yang menginspirasi Soe Hok Gie untuk menorehkan hati lembutnya dalam sebuah puisi. Puisi ini juga yang membuat saya semakin cinta dan menghayati indahnya hidup. Dan salah satu baitnya yang paling saya suka adalah:
“Karena aku cinta pada keberanian hidup”
Keberanian hidup untuk terus maju, terus mengatasi, terus merasakan skenario yang sudah diberikan kepada kita selaku yang dicipta oleh Sang Pencipta. Walaupun ada kalanya kita merasa takut dan kecewa serta pesimis tentang segala hal. Tapi itu wajar dan manusiawi. Jadi nikmatilah.
pukul 10.00 wib kami memutuskan turun dari Mandalawangi menuju kandang badak, setelah prepare kilat (packing, makan siang, etc) pukul 12.30 wib kami turun melewati jalur Cibodas yang penuh dengan tangga batu. Jalur ini.. saya tidak pernah suka! hanya karena tangga batunya menambah siksaan berkali lipat untuk kaki saya. Tapi mau bagaimana lagi, sesuatu yang sudah diputuskan dari awal harus dilewati, kita tidak dapat mengubahnya. Jadi.. sekali lagi nikmatilah.
Tidak dapat dipungkiri perjalanan turun ini terasa sangat melelahkan dan sempat membuat saya menitikkan air mata. Ingin rasanya cepat sampai dan mengakhiri segalanya (lebay). Itulah indahnya proses. Hanya orang yang kuat dan sabar yang bisa sampai baik itu naik ke puncak ataupun turun dari puncak.Kira-kira pukul18.00 wib kami sampai di tangga batu terakhir jalur cibodas. Setelah sholat dan bebersih kami melanjutkan perjalanan pulang. Perjalanan pulang ini bisa jadi adalah perjalanan sebenarnya dari sepasang mata, tangan dan kaki yang sudah menyimpan kenangan dari awal sebuah pendakian.
Jangan kaget ya, baca tulisan ini. Itu Gw yang menyamar jadi saya. haha
Have a nice day!