






Jelajah Keindahan Sukabumi
Akhirnya kesampaian juga kepengenan untuk jelajah keindahan Sukabumi. Jelajah kali ini saya beri tema #marcheria. Hanya karena tripnya dilakukan di awal Bulan Maret. Dimana bagi para karyawan manapun adalah minggu paling membahagiakan, karena budget jalan-jalan masih banyak.
Perjalanan kali ini saya ikut dengan rombongan trip dari travelogue. Kebetulan temennya temen adalah penggagas sekaligus TL open trip ini. Kami berangkat pukul 23.30 wib, terlambat 30 menit dari jadwal yang direncanakan. Rombongan kali ini tidak sebanyak saat saya ikut open trip jelajah Kelor-Onrust-Cipir. Kita hanya ber 15 orang. Memang terkadang semakin sedikit orang semakin kita dapat menikmati asyiknya perjalanan.
Perjalanan dari Bogor hingga tempat yang dituju membutuhkan waktu kurang lebih 6 Jam. Kira-kira pukul 06.00 wib kita sudah sampai di daerah tempat Curug Cikaso bersemayam. Untuk menuju ke air terjun ini kita bisa tempuh melalui jalur air dan darat. Jika menggunakan jalur darat, kita harus trekking melalui sawah dan pekarangan penduduk sekitar. Sedangkan jalur air adalah dengan menggunakan perahu sewa. Keduanya sama menariknya. Tergantung moment apa yang kita ingin dapatkan. Karena cuaca saat itu sedikit gerimis meringis. TL memutuskan untuk menggunakan perahu. Tidak kurang dari 5 menit menyusuri sungai… kita sampai di curug ini.
Entah kenapa di semua perjalanan yang sudah saya lewati. Hal paling menarik dan menyenangkan adalah ketika saya pertama kali mendengar, merasakan dan melihat tempat wisata tersebut. Rasanya semua kepenatan terbayarkan dengan telak.
Mendengar suara gemericik air, menghirup udara segar dan melihat derasnya air terjun dari ketinggian sungguh menggembirakan. Tidak henti-hentinya rasa syukur diucapkan. Alhamdulillah. Sang pencipta masih mengizinkan saya untuk terus menikmati dan mengagumi segala ciptaannya.
Namun layaknya para wanderlust. Dia tidak hanya terperdaya satu keindahan. Dia akan selalu mencari dan mencari tempat menyenangkan selanjutnya. Karena mereka ditakdirkan untuk selalu mencari dan mengagumi serta menikmati proses. Untuk itu saya tidak menyukai berlama-lama menikmati satu tempat. Setelah mendapat best moment yang diharapkan maka saatnya beranjak ke tempat yang akan dituju selanjutnya.
Kira-kira pukul 09.00 wib. Rombongan kita sudah melanjutkan perjalanan ke destinasi paling utama (menurut saya: tempat yang diidam-idamkan). Jam 10.00 wib setelah melewati beberapa kelokan yang buat perut mual. Akhirnya kami sampai di Pantai Ujung Genteng. Cuaca saat itu kurang mendukung, karena matahari belum memperlihatkan batang hidungnya. Di dukung lagi air laut yang pasang. Sehingga ruang jelajah kita tidak banyak. Sedikit kecewa, tapi entah kenapa suara hati masih merasa senang. Alhamdulillah, masih bisa terus menyebut ayat paling banyak dan berulang-ulang di Surat Ar-rahman. Fabi ayyi ala irobbi kuma tukadziban.
Setelah sedikit bernarsis ria di ujung genteng, kami melanjutkan perjalanan ke homestay. Pilihan travelogue jatuh pada Pondok Alief. Tempatnya cozy dan suasananya warmly banget. Sepanjang saya memperhatikan homestay yang berderet di pantai ujung genteng, hampir semua tidak menggunakan genteng pada bagian atapnya. Entah kenapa. Karena harga genteng yang mahal atau karena nama daerahnya sudah ujung genteng. Sehingga tidak perlu ada lagi genteng di setiap rumah. Haha. Sayangnya saya tidak sempat membuat pertanyaan iseng kepada pemilik homestay.
Anyway kami berlima belas mendapat 5 kamar tidur. Sehingga 1 kamar diisi 3 orang. Kebetulan saya dan Ntri (sohib sholehah yang selalu siap jika diajak jelajah pantai, tetapi selalu menolak jika diajak mendaki. Hanya karena tidak mendapat ijin maminya) ketambahan salah satu rombongan jelajah yang cukup cetar karena menjadi pemeran utama membuat trip kali ini cukup bewarna. Namanya Mbak Dina. Prediksi saya umurnya 40 tahunan. Namun jiwanya sangat muda. Sepintas yang saya baca dari obrolan singkat dengannya, dia adalah pebisnis handal, punya kontrakan dimana-mana dan sekarang sedang menikmati hasil jerih payahnya selama ini. Sekilas saya lihat juga, beliau sangat happy dengan hidup dan pencapaiannya. Namun sekian detik saya perhatikan kembali ada air muka yang memperlihatkan bahwa dia tidak baik-baik saja. Memang terkadang orang yang selalu menampakkan wajah ceria. Sejatinya adalah orang yang berusaha untuk menutupi banyak kesedihan yang sudah dialaminya. So don’t judge anything. Intinya semua manusia pasti punya porsi bahagia dan sedih masing-masing. Tergantung kita mengolahnya menjadi lebih menarik atau menjadi semakin runyam :)
Setelah beberapa jam beristirahat, berbasuh, sholat dan makan siang. Tepat pukul 15.00 wib kita melanjutkan perjalanan ke Pantai Cibuaya dan Pangumbahan. Ternyata Pantai Cibuaya berada satu jalur dengan Ujung Genteng. Dimana Pantai Pangumbahan adalah pantai paling pucuk dari deretan ujung genteng. Di Pantai Cibuaya kita hanya berhenti sebentar. Kalau rombongan tertarik berfoto ria dengan deburan ombak yang menghempas karang kecil. Saya lebih tertarik berfoto dengan karang dan rumput hijau di tepian pantai. Entah kenapa warna hijaunya menghanyutkan (halah: hanya karena menyenangkan melihat perpaduan warna hijau dan karang laut). Yah semua orang punya momentnya masing-masing kan :]
Setelah kurang lebih 30 menit di Cibuaya. Kita melanjutkan ke pantai Pangumbahan atau biasa orang sebut tempat penangkaran penyu di ujung barat jawa. Perjalanan kesana kita lakukan dengan sedikit berjalan kaki. Karena kondisi jembatan yang kebetulan patah. Sehingga jalanan sangat curam dan berpasir, dan tidak memungkinkan untuk mobil elf yang kita naiki melewatinya. Setelah jalan kaki kurang lebih 2 km, kita sampai di Pantai Chelonia ini (baca: pantai pangumbahan).
Dan sekali lagi saya dipaksa untuk mengucapkan Alhamdulillah dan bersyukur sebanyak-banyaknya. Karena ternyata kita (baca: rombongan jelajah) mendapat kesempatan untuk ikut serta melepaskan tukik (anak penyu) ke pantai. Momen ini ternyata untung-untungan, karena tidak semua hari adalah hari dimana telur penyu menetas dan tukik dilepaskan ke pantai. Pelepasan tukik dilakukan pukul 17.30 wib. Jika kalian ingin lebih beruntung dan mendapatkan momen terbaik sebaiknya datang di Bulan Agustus. Karena bulan ini adalah bulan dimana penyu paling banyak bertelur dan menetas. Kurang lebih bisa sampai 3000 tukik dilepaskan.
Karena jelajah kami kali ini di bulan Maret. Maka tidak lebih dari 70 tukik saja yang dilepaskan. Sedikit perbincangan dengan pawang penyu di pantai ini. Ternyata penyu termasuk hewan langka yang harus dilestarikan. Karena sekarang hanya tersisa penyu hijau (Chelonia mydas) di Indonesia. Sedangkan spesies lain sudah punah. Perkembangbiakan juga cukup lambat. Karena penyu baru bisa dan diketahui kelaminnya setelah berumur 25 tahun. Dengan tingkat bertelur setiap tahunnya hanya 4-7 kali. Dan rata-rata jumlah telur 72-100 telur. Sedangkan lama penetasannya 45-60 hari (tergantung musim). Penetasan pada musim panas lebih cepat dibandingkan musim dingin.
Untuk itu dengan alasan apapun, walaupun nyatanya selain jelajah alam saya juga sangat menyukai jelajah kuliner. Saya menolak jika ada yang memberi, mengajak bahkan membuat iler saya menetes hanya untuk mencoba sate tukik yang katanya rasanya lebih enak dibandingkan sate kambing (nyatanya saya benci sate kambing :p)
Kembali ke cerita pelepasan tukik. Disini saya mendapatkan best moment. Mungkin begitu juga dengan semua rombongan jelajah marcheria ini. Karena sekilas yang saya perhatikan air muka dan aura yang terpancar terlihat sama. Satu kata: membahagiakan. Disini saya mendapat pelajaran berharga bahwa bahagia itu sederhana dan lega. Lega dalam arti hanya karena kita bisa memberi kebebasan kepada calon-calon generasi masa depan penyu untuk bertarung dan merasakan dunianya. Entah apa yang akan terjadi di depan. Mereka harus sanggup menghadapinya. Tapi satu yang saya percaya, bahwa mereka yang sanggup bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan segala kondisi. Sama halnya kita, manusia.
Jam 19.00 wib kita sudah kembali ke Pondok Alief. Jelajah hari pertama selesai dan ditutup dengan makan malam bersama dengan menu utama ikan bakar (makanan wajib kalo di pantai). Sedikit terkesan dengan sambal khas ujung genteng. Rasanya cyamik. Baru kali ini saya makan sambal hejo dengan rasa yang begitu segar. Ternyata perpaduan kencur dan jeruk limau buat sambelnya lebih nancep dan pas dimakan dengan ikan bakar (buat saya bisa jadi inspirasi masakan rumah).
Jam 20.00 wib kami sudah masuk kamar masing-masing. Menikmati malam dengan tidur lelap. Satu tips lagi jika kalian merencanakan liburan ke Ujung Genteng jangan lupa untuk bawa autan/sofell karena banyak nyamuk. Dan jangan lupa juga untuk bawa jaket. Karena anginnya yang sangat kencang. Jika musim hujan sering terjadi hujan badai dengan intensitas angin yang sangat tinggi. Trip kali ini saya merasakan semuanya, mulai dari gigitan nyamuk hingga terbangun hanya karena hujan badai yang sangat ramai.
Keesokan harinya, sebelum kembali pulang ke tempat mengais rejeki masing-masing. Kita melanjutkan destinasi terakhir yaitu Curug Cigangsa. Curug ini terletak sejalur dengan Curug Cikaso namun akses untuk kesana hanya bisa dilakukan dengan trekking, melewati sawah-sawah penduduk dan undakan tangga tidak lebih dari 70 anak tangga. Karena masih masuk musim pancaroba dan kebetulan semalam ada hujan badai. Maka aliran air terjun cukup deras. Sehingga kita tidak dapat melihat keunikan dari curug ini. Yaitu air terjun berundak-undak. Namun demikian sekali lagi saya selalu suka dengan kata-kata: setiap penjelajah punya momentnya masing-masing. Untuk itu walaupun tidak dapat best moment yang dikatakan orang-orang. Saya tetap bisa merasakan keasikan menjelajah tempat baru. Baik itu suasana, udara ataupun percikan air dari tempat tersebut. Menyenangkan :]
Oke mungkin sekian cerita perjalanan kali ini. Semoga bisa bermanfaat untuk penikmat jelajah alam Indonesia!